
Konten di media sosial sudah menjadi makanan sehari-hari. Influencer, selebriti, dan tokoh berpengaruh lainnya berlomba membuat konten menarik. Akan tetapi, muncullah konten prank yang meresahkan. Tidak sedikit influencer atau selebriti yang membuat konten prank kepada anak, seperti jahil untuk memberi kejutan hingga membohongi anak.
Meskipun membuat anak terkejut dan menangis, konten seperti itu tetap banyak ditonton karena dinilai lucu dan menghibur. Dari segi psikologis, inilah berbagai bahaya prank pada perkembangan anak.

Memicu Stres pada Anak
Kegiatan prank yang kerap dijadikan konten tentu membuat anak stres. Bagaimana tidak, prank yang dinilai lucu oleh orang dewasa adalah hal yang dibenci anak. Prank ini memanfaatkan sifat anak yang mudah percaya atau merasa takut. Mempermainkan perasaan anak menyebabkan ia menjadi jenuh dan emosi karena tidak suka dibohongi atau dijadikan bahan lelucon, sehingga timbullah stres.
Menimbulkan Perasaan Tidak Berharga
Meskipun anak-anak suka bercanda dan lucu, namun memberinya prank atau sesuatu yang tidak benar, membuatnya kecewa. Respon tertawa dari orang tua dan orang di sekitarnya, membuatnya merasa tidak berharga. Secara tidak sadar, anak membawa pengalaman emosional dari prank tersebut ke alam bawah sadarnya yang kemudian merendahkan harga dirinya.
Mudah Merasa Cemas
Prank atau tindakan menjahili anak itu tidak dibenarkan. Tanpa disadari, tindakan ini membuat anak mudah cemas. Kondisi kecemasan yang dirasakannya membuat si kecil tidak santai dalam beraktivitas. Terkadang, timbul perasaan cemas bahkan curiga ketika orang tua berada di dekatnya.
Menimbulkan Trust Issue
Mengikis kepercayaan anak kepada orang tua adalah dampak prank berikutnya. Trust issue ini dipicu oleh perilaku orang tua yang justru menjadikan anak lelucon dengan memberinya prank. Sebagai target prank, anak mengalami perasaan tidak aman dan risih, sehingga kebutuhannya untuk disayangi, dihargai, dan diberikan rasa aman menjadi tidak terpenuhi. Semua itu membuatnya berpikir bahwa orang tuanya tidak dapat dipercaya dan tidak mampu menjadi panutan.

Menimbulkan Rasa Tidak Aman
Menurut Gracia Ivonika, M.Psi., Psikolog, anak yang dijahili terus menerus oleh orang tuanya akan mengembangkan perasaan tidak aman saat berada di rumah. Hal ini dapat terjadi saat anak berusia 6-12 tahun, sedangkan masa ini adalah usia early childhood yang membutuhkan rasa aman untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Jika rasa aman tersebut tidak diperoleh, maka tumbuh kembangnya akan terhambat. Pemberian prank tentu bukan hal yang disukai anak, sehingga otomatis merasa tidak aman ketika dekat dengan orang tua yang memberikan prank kepadanya.
Berpengaruh pada Perkembangan Emosi
Hal ini terasa menyakitkan bagi anak, bahkan memengaruhi harga dirinya. Cepat ataupun lambat, prank akan mempengarhi anak kondisi mental dan rasa percaya diri anak. Hal ini kelak berpengaruh pada perkembangan emosinya. Ia bisa menjadi kesulitan mengatur emosi untuk menghadapi berbagai hal.
Memicu Trauma
Kebiasaan jahil atau prank dari orang tua kepada anak bisa memicu trauma. Dalam kegiatan prank, peristiwa yang terjadi tentu kurang enak dilihat atau dialami si kecil, terlebih sifatnya yang mendadak. Semua ini membuatnya kaget, sedih, tidak nyaman, sehingga membuatnya takut dengan kejadian serupa. Anak menjadi sensitif dengan kejutan, keramaian, ataupun berita mengejutkan. Rasa trauma ini bisa dialami hingga usia dewasa.
Tidak dipungkiri bahwa prank oleh orang tua ke anak akan mempengauhi perkembangan emosionalnya. Oleh karena itu, sebaiknya hindari memberikan prank ke anak, karena hanya akan memberikan kesenangan sesaat.
Editor & Proofreader: Zafira Raharjanti, STP